Bab I. Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Masalah Indonesia adalah negara dengan
berbagai suku bangsa yang mendiaminya dari bagian barat hingga timur.Setiap
suku bangsa di Indonesia memiliki pola kehidupan tersendiri. Pola kehidupan itu
membuat Indonesia menjadi kaya akan keberagaman. Keberagaman itu termasuk
identitas suku (aspek kesejarahan), sistem sosial, sistem kekerabatan, struktur
kelembagaan, adat-istiadat dan kebudayaan serta sistem kepercayaan yang dianut
suku tersebut.
Di Indonesia bagian barat, kita mengenal
suku Melayu, suku Kubu, Batak, Mentawai yang memiliki kekhasan budaya.
Menyeberangi bagian barat, kita menemukan suku Badui, Jawa, Dayak, dengan
keanekaragaman kearifan lokal.Di bagian Indonesia timur, kita memiliki suku
Bima, Bugis, Papua, Tana Toraja yang masih memiliki keaslian budayanya. Bangsa
yang bijak adalah bangsa yang menghargai hasil cipta, karya, dan karsa suku
bangsa yang mendiaminya.
Dari sekian banyak suku bangsa yang ada
di Indonesia, ada suku bangsa yang memiliki pola kehidupan yang unik.Yaitu pola
kehidupan yang
terdapat pada masyarakat suku Tana Toraja.Suku Tana Toraja adalah
suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa, dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja.Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk Todolo.Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.Seperti daerah-daerah yang lainnya di Indonesia, daerah Tana Toraja memiliki sejarah yang panjang dan tentu saja tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Termasuk pola kehidupan yang tidak kalah menarik dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Tidak hanya peninggalan sejarah, namun juga peninggalan budaya suku Tana Toraja sebagai suku bangsa yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja yang masih terjaga kelestariannya sampai saat ini.
terdapat pada masyarakat suku Tana Toraja.Suku Tana Toraja adalah
suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa, dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja.Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk Todolo.Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.Seperti daerah-daerah yang lainnya di Indonesia, daerah Tana Toraja memiliki sejarah yang panjang dan tentu saja tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Termasuk pola kehidupan yang tidak kalah menarik dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Tidak hanya peninggalan sejarah, namun juga peninggalan budaya suku Tana Toraja sebagai suku bangsa yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja yang masih terjaga kelestariannya sampai saat ini.
Oleh karena itu
kami akan membahas salah satu budaya yang ada diIndonesia yakni budaya yang ada
pada suku Toraja. Dengan memahamibanyak budaya maka kita akan lebih memahami
betapa banyak budaya dinegeri
kita serta meningkatkan rasa toleransi antar suku dan budaya diIndonesia dan meningkatkan kesadaran untuk
melestarikannya.
B.
Tujuan
1. Mengkaji
asal-usul masyarakat Tana Toraja.
2. Mengidentifikasi
Keprcayaan masyarakat Toraja.
3. Mengidentifikasi
sistem pola kehidupan suku Tana Toraja.
4. Mengidentifikasi
benda tradisional di Toraja.
5. Mengidentifikasi
perkembangan budaya dan seni masyarakat suku Tana Toraja.
Bab II. Pembahasan
A.
Asal-usul Suku Toraja
Konon, leluhur orang Toraja adalah
manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun
hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa
nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit”
untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi
dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Konon manusia yang turun ke bumi,
telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk.Aluk merupakan aturan
keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku
Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah
laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.
Walaupun
sampai saat ini belum ada ahli yang bisa memastikan asal-usul nenek moyang
orang Toraja, tapi banyak pihak memperkirakan bahwa nenek moyang orang Toraja
berasal dari Indo-Cina. Denga menggunakan berbagai macam perahu, kira-kira
2.500 – 1.500 Sebelum Masehi, sewaktu sebagian pesisir Pulau Sulawesi terendam
lautan, mereka datang ke pulau yang bentuknya seperti huruf K. Setelah sampai
di Pulau Sulawesi, mereka membangun rumah yang mirip dengan perahu, tempat
mereka diam bertahun-tahun di lautan.Bentuk rumah tersebut sampai sekarang
masih digunakan sebagai rumah orang Toraja yang senantiasa menghadap ke Utara,
dari arah mana nenek moyang mereka datang.Hal ini merupakan pedoman instink,
sisa, pikiran yang menghubungkan dengan heredity tempat asalnya. Sebagai
contoh, ada satu tiang perahu yang paling dominan sebagai tempat mengikat layar
bernama SOMPA, sedangkan tiang rumah adat yang paling dominan tampak di depan
rumah juga bernama tulak SOMPA. Ini merupakan persamaan nama dan fungsi antara
perahu dan rumah orang Toraja.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh
suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk
daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di
negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang
artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa
kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya
orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Menurut Departemen pendidikan dan
kebudayaan di dalam buku Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan
(1981-1982:60), penamaan Toraja terbagi atas beberapa pendapat.
Diantaranya sebagai berikut:
1.
To-Riaja
Kata Toraja berasal dari kata To-Riaja.Dimana To
berarti Orang dan Riaja berarti Utara.Penamaan ini bagi orang yang bertempat
tinggal di selatan Tondok Lepongan Bulan.
2.
To-Rajang
Kata Toraja berasal dari kata To-Rajang.Dimana To
berarti Orang dan Rajang berarti Barat.Penamaan ini berasal dari orang- orang
Luwu menunjuk Tana Toraja di sebelah Barat.
3.
To-Raya
Kata Toraja juga dianggap berasal dari kata To-Raya
yang dimana To berarti orang dan Raya berarti Timur. Penamaan ini berasal dari
penamaan orang- orang makassar yang menunjuk Tana Toraja di sebelah Timur.
4.
To-Raja
Kata Toraja berasal dari kata To-Raja.To berarti orang
dan Raja berarti Selatan.Dalam hal ini adanya pengakuan dari raja Sulawesi
Selatan yang mengakui leluhurnya berasal dari Tondok Lepongan Bulan, Tanah
Matarik Allo.
B. Hubungan Sosial
Masyarakat Toraja
Masyarakat
Toraja sejak dari dahulu mengenal pula beberapa tingkatan masyarakat yang
dinamakan tana (kasta) seperti pula pada suku –suku bangsa lain di Indonesia
yang sangat mempengaruhi pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan Toraja karena
sehubungan dengan lahirnya sendi – sendi kehidupan dan aturan dalam Aluk
Todolo, dan Tana’ tersebut dikenal dalam 4 (empat) susunan atau tingkatan
masing – masing :
1.
Tana’ bulaan (kasta bangsawan
tinggi)
2.
Tana’ Bassi (Kasta bangsawan
menengah)
3.
Tana’ Karurung (Kasta Rakyat Merdeka)
4.
Tana’ Kua – Kua (Kasta Hamba Sahaya)
Untuk berbicara mengenai Tana’
tersebut diatas sebagai salah satu dalam pembentukan dan pertumbuhan kebudayaan
Toraja dan sangat banyak menentukan dalam tata kehidupan masyarakat Toraja, dan
kasta – kasta tersebut selalu terdahulu dalam menentukan sesuai masalah –
masalah penting antara lain :
1.
Dalam menghadapi perkawinan.
2.
Dalam menghadapi pemakaman/upacara
adat pemakaman.
3.
Dalam mengajadapi pengangkatan
jabatan adat atau menjadi pemerintah adat.
Untuk memegang suatu tugas adat yang
pertama – tama menjadi persoalan pada mencari tahu kasta seseorang karena
jabatan – jabatan adat itu sudah terikat dengan adanya pembahagian tugas pada
mulanya seperti yang disebutkan sesuai dengan mithos aluk todolo, yang tempat
pengenalannya atau emncahari tahu itu dengan mengenal tongkonan atau mencari
tahu tongkonannya.
Begitu pula jikalau menghadapi satu
perkawinan seseorang yang dalam peminangan itu sudah diperkenalkan lebih dahulu
kasta seseorang itu dengan persaksian dari tongkonannya yang mendapat pengakuan
dari pemerintah adat dimana pria itu berasal jikalau orangnya memangnya tak
dikenal keturunannya.
Hal itu demikian karena menurut adat
perkawinan dalam adat Toraja tidak boleh seorang laki – laki dari Tana Karurung atau Tana’ Kua – Kua kawin dengan perempuan dari kasta
Tana’ Bulaan atau Tana’ Bassi, kalau toh ini terjadi maka dikenakan hukum adat
yang dijuluki Unteka Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk, tetapi
sebaliknya dapat saja seorang laki – laki dari Kasta Tana’ Bulaan atau Tana’
Bassi boleh kawin dengan Kasta dibawahnya, hanya saja tidak dapat dikawinkan
menurut adat, dan anaknya pun yang lahir dari perkawinan kasta yang tidak sama
itu atau yang dilarang itu tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan saudara –
saudaranya yang lahir dari kasta yang dapat diterima menurut adat yang hal ini
turut pula mempengaruhi kedudukan sebagai pewaris yang tidak sama dengan
saudaranya yang kastanya diterima oleh adat.
Dari semua tingkatan tana’ tersebut
di atas mempunyai nilai yang bertingkat – tingkat yang maksudnya membedakan
tiap – tiap kasta tersebut secara materil dan juga sebagai dasar dalam
pelaksanaan hukuman perkawinaan bila diperlukan.Suatu contoh jikalau seseorang
Tana’ Bulaan kawin dengan sesamanya Tana’ Bulaan dan terjadi perceraian yang
sengaja oleh salah satu pihak maka yang bersalah itu dihukum dengan membayar
suatu denda yang dinamakan kapa’ sebanyak kerbau menurut tana’nya yaitu tanaa’
bulaan dengan Kapa’ 24 ekor kerbau yang ukuran tanduknya dikatakan dengan
ukuran sang pala’ (satu tapak tangan diatas pergelangan) atau kerbau yang
berumur rata – rata 2 s/d 3 tahun.
Penilaian masing – masing tana’,
sbb:
a)
Untuk tana’ bulaan (kasta bangsawan
tinggi) nilai hukumnya dengan 24 ekor kerbau (tedong sangpala’)
b)
Untuk tana’ bassi (kasta bangsawan menengah)
nilai hukumnya dengan 6 ekor kerbau tedong sangpala’.
c)
Untuk Tana’ karurung (kasta rakyat
merdeka) nilai hukumnya dengan 2 ekor kerbau tedong sangpala’.
d)
Untuk tana’ kua – kua (kasta hamba
sahaya) nilai hukumnya dengan 1 ekor babi betina yang sudah pernah beranak
namanya bai doko.
Inilah susunan tana’ yang pertama di
Tana Toraja tetapi setelah tersebarnya Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun
Tamboro Langi’ (Monarkhi Agama) maka di daerah adat Kepuangan, Tana’ yang 4
(empat) ini mengalami sedikit perubahan yang pelaksanannya seolah – olah hanya
terdapat tiga tana’ saja dalam prakteknya dalam masyarakat, yaitu disesuaikan
dengan struktur pemerintahan adat puang dan kedudukan puang atau yang
berketurunan bangsawan. Karena kedudukannya dan pemerintahannya yang bersifat
monarkhistis itu, maka menurut aluk sanda saratu’, tana’ dalam pengabdian
kepada aluk sanda saratu’ susunannya sbb:
a)
Tana’ Bulaan hanya khusus bagi
turunan Puang Tomanurun.
b)
Tana’ Bassi untuk bangsawan yang
bukan turunan puang to manurun atau darahnya lebih banyak turunan bukan turunan
Tomanurun.
c)
Tana’ Karurung untuk semua rakyat
merdeka atau yang tidak berketurunan bangsawan yang kesemuanya digolongkan
dalam golongan kasta pengabdi kepada Tana Bassi dan Tana’ bulaan.
Di samping menjadi pedoman dalam hal
perkawinan dan pemilihan Pemerintah adat/pemangku adat Tana’, Tana’ tersebut di
atas juga menjadi dasar penilaian seseorang di masyarakat pada waktu orang itu
meninggal dunia., karena Tana’ ini turut menentukan tingkatan upacara
pemakamannya, umpamanya seseorang dari Kasta atau Tana’ Bassi tidak dapat
dimakamkan dengan upacara pemakaman Tana’ Bulaan sekalipun keluarganya mampu
mengadakan kurban yang mencukupi upacara Tana’ Bulaan yang dinamakan Rapasan,
tetapi sebaliknya pula bahwa seseorang dari Kasta Tana’ bulaan dapat saja
dimakamkan dengan upacara apapun sampai serendah-rendahnya karena tidak
berkemampuan dalam persiapan kurban dan biaya-biaya pemakaman yang tinggi.
Jadi jelas di sini bahwa peranan
dari pada Tana’ dalam masyarakat Toraja sejak dari dahulu sangat menentukan
segi-segi tertentu pertumbuhan masyarakat yang peninggalannya masih nyata
sampai sekarang ini, dan dalam jabatan-jabatan adat Tana’ pun turut menentukan
karena sudah tertentu golongan kasta yang akan menjabat setiap jabatan adat
yang garis besarnya sebagai berikut:
1)
Kasta atau tana’ Bulaan adalah kasta
yang menjabat ketua / pemimpin dananggota pemerintahan adat umpamanya
jabatan Puang, Ma’dika, dan Sokkong Bayu (Siambe’).
2)
Kasta atau tana’ Bassi adalah kasta
yang menjabat jabatan pembantu atau anggota pemerintahan adat seperti jabatan –
jabatan Anak Patalo/To Bara’ dan To Parengge’ – To Parenge’.
3)
Kasta Tana’ Karurung adalah kasta
yng menjabat pembantu pemerintahan adat serta menjadi petugas/pembina Aluk
Todolo untuk urusan Aluk Patuoan, Aluk Tananan yang dinamakan To Indo’ atau
Indo Padang.
4)
Kasta atau Tana’ Kua - Kua adalah
kasta yang menjabat jabatan petugas/pengatur pemakaman atau kematian yang
dinamakan To Mebalun atau To Ma’kayo (orang yang membungkus orang
mati) dan juga sebagai pengabdi kepada kasta Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi.
Kesemua jabatan-jabatan tersebut di
atas adalah kesemua jabatan yang merupakan tugas yang turun temurun diwariskan
kepada masing-masing keluarga yang bersangkutan bersumber dari masing-masing
Tongkonan.
C.
Aluk
Todolo (agama)
Aluk Todolo
adalah agama leluhur nenek moyang suku Toraja yang hingga saat ini masih
dipraktekkan oleh sejumlah besar masyarakat Toraja.Bahkan pada tahun 1970, Aluk Todolo sudah dilindungi oleh
negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali.Aluk
Todolo adalah kepercayaan animisme tua, dalam perkembangannya Aluk Todolo banyak dipengaruhi
oleh ajaran-ajaran hidup Konfusius dan agama Hindu.Oleh karena itu, Aluk
Todolo merupakan suatu kepercayaan yang bersifat politeisme yang
dinamistik.
Kepercayaan Aluk Todolo ini bersumber
dari dua ajaran utama yaitu aluk 7777 (aluk sanda pitunna) dan aluk serba
seratus (sanda saratu').
Aluk Sanda
Pitunna (aluk 7777) disebarkan oleh Tangdilino'
dan merupakan sistem religi yang diyakini oleh orang Toraja sebagai aluk yang
diturunkan dari langit bersama-sama dengan umat manusia.Oleh karena itu, Aluk
Sanda Pitunna adalah aluk tertua dan menyebar secara luas di Toraja.Sementara
itu, Aluk Sanda Saratu' datang
kemudian dan disebarkan oleh Puang Tamborolangi', namun Aluk Sanda Saratu'
hanya berkembang didaerah Tallu Lembangna (Makale, Sangalla dan Mengkendek).
Aluk Sanda
Pitunna bersumber dari ajaran agama (sukaran
aluk) yang meliputi upacara (aluk), larangan (pemali), kebenaran umum (sangka')
dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna).Aluk sendiri meliputi upacara yang
terdiri atas tiga pucuk dan empat tumbuni (aluk tallu lolona, a'pa'
pentaunina). Disebut tiga aIuk karena ia meliputi upacara yang menyangkut
manusia (aluk tau), upacara yang menyangkut tanam-tanaman (aluk tananan) dan
upacara yang menyangkut binatang (aluk patuan) dan dikatakan empat oleh karena
di samping ketiga hal di atas ada lagi satu upacara yang disebut upacara suru'
berfungsi untuk menembus kesalahan (pengkalossoran).
Wilayah
barat
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini
di wilayah barat Tana Toraja yaitu :
Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “to unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata
sosial yang tidak mengenal strata.
Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “to unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata
sosial yang tidak mengenal strata.
Wilayah
timur
Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik
bersama Burake Tambolang menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua,
Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara
dengan memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To
Unnirui’ suke dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang
menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Wilayah
tengah
Tangdilino bersama Burake Tangngana
menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial
“To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”.
Sesuai dengan makna dan kandungan
yang terdapat di dalam sistem kepercayaan Aluk Todolo, terdapat sejumlah hal yang relevan dengan pengelolaan
dan pelestarian lingkungan hidup.Jika ditelusuri jejak referensi adanya konsep
pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup bagi orang Toraja, ditemukan bahwa
pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup bagi orang Toraja, pertama diatur
dalam sistem religi yang ada dan hal itu meliputi hampir seluruh ritus yang
dilaksanakan.
Dalam Aluk Todolo terdapat beberapa
hukuman/peraturan yang harus dipatuhi oleh penganutnya .Hukum aluk todolo yang
disebut “Pemali” .
Beberapa contoh pemali antara lain :
1.
Pemali ma’pangngan buni,tidak boleh
berzinah
2.
Pemali unromok tatanan pasak,tidak
boleh mengacau di pasar
3.
Pemali unteka’ palanduan,golongan
budak dilarang menikah dengan golongan Tomakaka
dan Tokapua (Bangsawan).
4.
Pemali boko,tidak boleh mencuri.
5.
Pemali umboko sunga’na padanta
tolino, jangan membunuh sesama manusia
6.
Pemali ma’kada penduan, tidak boleh
berdusta
7.
Pemali unkasirisan deata misanta, jangan
menghianati orang tua
8.
Pemali ungkattai bubun, jangan berak
disumur
9.
Pemali umbala’bala tomanglaa, jangan
menyiksa anak gembala
10. Pemali
melo’ko’, dilarang mengambil barang di pekuburan
11. Pemali
umbala’bala patuoan, jangan menyiksa binatang ternak
12. Pemali mantunu
tedong sisola anakna, dilarang menyembelih kebau dengan anaknya.
13. Pemali
unno’koi alllonan bundanganki, dilarang menduduki bantal karena bantal jika
diduduki akan kempes, bantal untuk kepala tidak di tempai bantal
14. Pemali
kumande malillin na siduangki bombo, dilarang makan ditempat gelap nanti setan
akan makan makanan kita juga
15. Pemali kande
tallo manuk ke bullungngi pare malayu pare, dilarang makan telur ayam jika
jikalau padi sudah ditanam atau sementaratumbuh nanti padi layu.
Selain itu masih ada 100 pantangan
lainnya (aluk sanda saratu) sangsi
yang dikenakan pada pelanggaran pemali adalah berbeda menurut berat ringannya
pelanggaran seperti :
a.
sangsi membunuh dimana semua
keluarga dari yang dibunuh bersumpah turun temurun tidak boleh berhubungan dalam
bentuk apapun dengan keluarga pembunuh (sisallang).
b.
Seorang hamba yang kawin dengan
golongan bangsawan diusir seumur hidup dari masyarakat Toraja. Sangsinya sama
dengan orang yang mencuri milik orang mati dari kubur.
c.
Hubungan sex secara incest antara orang
bersaudara atau antara anak dan orang tua disuruh mangrambu langi’. Kerbau dan
babi dibakar hangus bersama pakaian meraka sebagai pengganti dirinya yang
seharusnya dirinyalah yang harus dibuang kedalam api bersama.
d.
Orang
berpisah dari satu rumah pada hari yang sama dengan arah Orang berpisah dari
satu rumah pada hari yang sama dengan arah ang berlawanan tidak ada sangsi
hukumnya tetapi biasanya salah seorang anggota keluarga ada yang dapat celaka.
D.
Tongkonan
(rumah adat)
Tongkonan
adalah rumah adat dengan ciri rumah panggung dari kayu dimana kolong di bawah
rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau.Atapnya rumah tongkonan dilapisi
ijuk hitam dan bentuknya melengkung persis seperti perahu telungkup dengan
buritan.Ada juga yang mengatakan bentuknya seperti tanduk kerbau. Sekilas mirip
bangunan rumah gadang di Minang atau Batak.
Semua
rumah tongkonan yang berdiri berjejer akan mengarah ke utara. Arah tongkonan
yang menghadap ke utara serta ujung atap yang runcing ke atas melambangkan
leluhur mereka yang berasal dari utara. Ketika nanti meninggal mereka akan
berkumpul bersama arwah leluhurnya di utara.
Berdasarkan
penelitian arkeologis, orang Toraja berasal dari Yunan, Teluk Tongkin,
Cina.Pendatang dari Cina ini kemudian berakulturasi dengan penduduk asli
Sulawesi Selatan.Kata tana artinya negeri, sedangkan kata toraja
berasal dua kata yaitu tau (orang) dan maraya (orang besar
atau bangsawan).Kemudian penggabungan kata-kata tesebut bermakna tempat
bermukimnya suku Toraja atau berikutnya dikenal sebagai Tana Toraja.
Tongkonan berasal dari kata tongkon yang
bermakna menduduki atau tempat duduk.Dikatakan
sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat berkumpulnya bangsawan Toraja
yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi.Rumah adat ini mempunyai fungsi
sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat.Awalnya merupakan pusat
pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan kehidupan sosial budaya
masyarakat Toraja.
Masyarakat
Toraja menganggap rumah tongkonan sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung padi) sebagai bapak.Tongkonan
berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta membina
kekerabatan.Bagian dalam rumah dibagi tiga bagian, yaitu bagian utara, tengah,
dan selatan.Ruangan di bagian utara disebut tangalok yang
berfungsi sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur, serta tempat meletakkan
sesaji.Ruangan sebelah selatan disebut sumbung,
merupakan ruangan untuk kepala keluarga tetapi juga dianggap sebagai sumber
penyakit.Ruangan bagian tengah disebut Sali yang
berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, dapur, serta tempat
meletakkan orang mati.
Bangunan tongkonan juga
terdiri dari bagian-bagian yang dinamakan:
Sulluk adalah kolong rumah;
Inan adalah ruangan yang terletak diatas kolong rumah yang dikelilingi
dinding sebagai badan rumah, inan ini sendiri terbagi kedalam: tangdo yang
berfungsi sebagai kamar depan sebagai tempat sesembahan kepada leluhur; Sali
adalah bilik tengah yang fungsinya terbagi dua, pada bagian timur tangdo
difungsikan sebagai padukkuang Api (dapur) dan tangdo bagian barat sebagai
tempat inan Pa Bulan (orang meninggal)
Sumbung adalah ruang bagian belakang yang berfungsi sebagai kamar tidur
orang yang menempati tongkonan tersebut.
Rattian adalah loteng rumah yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan
pusaka dan benda-benda berharga lainnya.
Papa adalah adalah pelindung berupa atap yang terbuat dari bambu yang
mempunya bentuk khas perahu.
Tongkonan dibagi ke
dalam tiga macam berdasarkan kelas sosial, yaitu:
1.
Tongkonan Layuk.
Tongkonan ini dibangun untuk orang berkuasa
dan sebagai pusat pemerintahan.Ciri-ciri tongkonan ini adalah ukiran seperti
hewan dan tumbuhan di dinding rumah.Selain itu ada pula hiasan kepala kerbau
dan deretan tanduk kerbau.Kepala dan tanduk kerbau adalah penanda kemakmuran
serta hidup berkelimpahan.
2.
Tongkonan Pekamberan.
Ini tongkonan bagi keluarga yang dipandang
hebat dalam adat. Ciri tongkonan ini sama dengan tongkonan layuk.
3.
Tongkonan Batu.
Jenis ketiga ini adalah rumah bagi keluarga
biasa.Tongkonan ini disebut banua oleh masyarakat setempat.Selain minim ukiran,
banua juga tidak punya hiasan sehingga lebih mirip pondok bambu.
E.
Rambu Tuka’
(syukuran)
Upacara
Rambu tuka’ adalah upacara adat yang berhubungan dengan acara syukuran di dalam
upacara ini tak ada kesedihan, yang ada hanya kegembiraan. Misalnya acara
pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau
yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini
membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut
dikenal dengan nama Ma'Bua', Meroek, atau Mangrara Banua Sura'. Upacara ini
menarik karena berbagai atraksi tarian, dan nyanyian dari kebudayaan Toraja
yang unik.Upacara Rambu Tuka’ dilaksanakan sebelum tengah hari di sebelah timur
tongkonan.Ini berbeda dengan Rambu solo’ yang di gelar tengah atau petang hari
serta di adakan di sebelah barat tongkonan. Sebagai upacara kegembiraan, Rambu
Tuka’ digelar mengiringi meningginya matahari Sedangkan Rambu Solo’ untuk
mengiringi terbenamnya matahari
Untuk upacara adat Rambu Tuka'
diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga', Ondo
Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan
lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'.Musik dan
seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu)
ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.
Adapun tingkatan upacara Rambu Tuka'
dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut :
1)
Kapuran Pangngan yaitu suatu
cara dengan hanya menyajikan Sirih Pinang sementara menghajatkan sesuatu yang
kelak akan dilaksanakan dengan kurban – kurban persembahan.
2)
Piong Sanglampa, yaitu
suatu cara dengan menyajikan satu batang lemang dalam bambu dan disajikan di
suatu tempat atau padang/pematang atau persimpangan jalan yang maksudnya
sebagai tanda bahwa dalam waktu yang dekat manusia akan mengadakan kurban
persembahan.
3)
Ma’pallin atau Manglika’ Biang, yaitu suatu
cara dengan kurban persembahan satu ekor ayam yang maksudnya mengakui semua
kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia yang akan melakukan kurban persembahan
selanjutnya.
4)
Ma’tadoran atau Menammu, yaitu
suatu cara dengan mengadakan kurban persembahan satu ekor ayam atau seekor babi
yang ditujukan kepada pemujaan Deata – Deata terutama bagi Deata yang menguasai
daerah tempat mengadakan kurban persembahan itu. Ma’tadoran juga dilakukan jika
melaksanakan upacara Pengakuan Dosa yang disebut Mangaku–aku.
5)
Ma’pakande Deata do Banua (mengadakan
kurban persembahan di atas Tongkonan). Nama Upacara ini berbeda di tiap daerah
adat tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu dengan kurban
persembahan seekor babi atau lebih sesuai dengan ketentuan dari masing-masing
daerah adat. Upacara ini dilaksanakan di atas Tongkonan karena Tongkonan
sebagai tempat hidup manusia yang mengadakan kurban persembahan dan tujuannya
memohon berkat atau bersyukur atas kehidupan dari Sang Pemelihara atau
Deata-Deata dan juga sebagai tempat menghajatkan kurban persembahan. Ada daerah
adat yang menyebut upacara ini sebagai Ma’parekke Para.
6)
Ma’pakande Deata diong padang (mengadakan
upacara di halaman Tongkonan), yaitu upacara kurban seekor babi atau lebih yang
dilaksanakan di halaman Tongkonan dari orang yang mengadakan upacara.
Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Deata-Deata supaya memberkati seluruh
tempat atau Tongkonan tempat orang merencanakan dan mengusahakan kurban
persembahan seterusnya serta tempat mendirikan Tongkonan.Ada daerah adat yang
menamakannya sebagai Ma’tete Ao’.
7)
Massura’ Tallang adalah
upacara yang dilaksanakan setelah selesai melaksanakan tingkatan upacara yang
lebih rendah seperti tersebut di atas. Upacara ini dilaksanakan di depan
Tongkonan agak sebelah timur. Upacara Massura’ Tallang merupakan upacara
persembahan paling tinggi kepada Deata-Deata sebagai Sang Pemelihara dengan
kurban beberapa ekor babi, dimana sebagian untuk persembahan dan sebagian lagi
untuk dibagikan menurut adat kepada masyarakat dan orang yang menghadiri
upacara tersebut utamanya kepada petugas adat dan agama Aluk Todolo. Upacara
Massura’ Tallang ini dapat dilakukan oleh seluruh keluarga dari satu rumpun
keluarga atau boleh juga satu keluarga dalam mensyukuri kebahagiaan keluarga
itu, dimana dalam pembacaan Doa dan Mantra Sajian Kurban telah diungkapkan pula
keagungan dan kebesaran Puang Matua. Oleh karena itu, upacara Massura’ Tallang
berfungsi sebagai upacara pengucapan syukur karena keberkatan dan upacara
penahbisan atau pelantikan arwah leluhur yang diupacarakan dengan upacara
pemakaman Dibatang atau Didoya Tedong.Dengan selesainyaupacara ini, maka
arwah dari leluhur secara resmi menjadi Setengah Deata yang disebut Tomembali
Puang (Sang Pengawas atau Pemberi Berkat manusia turunannya). Upacara demikian
disebut Manganta’ Pembalikan Tomate, dan disebut demikian karena pada
upacara ini diaturkan dekorasi hias bermacam-macam pakaian dan perhiasan
sebagai lambang dan perlengkapan hidup dari sang leluhur di alam baka.
8)
Merok, yaitu
upacara pemujaan kepada Puang Matua sebagai upacara pemujaan yang tinggi dengan
kurban Kerbau, Babi dan ayam. Pada upacara ini nama Puang Matua yang selalu
jadi pokok ungkapan dalam pembacaan mantra dan doa. Kerbau yang dikurbankan
pada upacara Merok ini adalah kerbau hitam (Tedong Pudu’), karena tidak boleh
menyajikan kurban kerbau yang memiliki bintik putih yang dianggap sebagai
kerbau yang cacat.Sebelum kerbau ini dikurbankan dengan menggunakan Tombak
(Dirok), terlebih dulu kerbau ini Disurak (didoakan dalam suatu ungkapan hymne
yang isinya menceritakan kemuliaan Puang Matua dan segala ciptaannya serta
kehidupan manusia dan mengutuk pula perbuatan yang tidak baik dari manusia yang
disyaratkan dengan pernyataan melalui kurban kerbau tersebut).Dan pelaksanaan
pembacaan hymne semalam suntuk oleh Tominaa disebut Massurak Tedong atau
Massomba Tedong, yang mana dalam Massomba Tedong ini diungkapkan tujuan
dari keluarga mengadakan upacara Merok.
9)
Ma’bua’ atau La’pa, yaitu
suatu tingkatan upacara Rambu Tuka' yang paling tinggi dalam Aluk Todolo.
Upacara ini dilaksanakan setelah menyelesaikan semua upacara-upacara yang
terbengkalai oleh keluarga atau daerah yang mengadakan upacara Ma’bua’
tersebut.Hal ini karena upacara Ma’bua’ adalah upacara untuk mengakhiri seluruh
upacara apapun dalam mensyukuri seluruh kehidupan dan mengharapkan berkat serta
perlindungan dari Puang Matua, Deata-deata, dan Tomembali Puang.Upacara Ma’bua’
juga sebagai ungkapan syukur atas hewan ternak, tanaman dan kehidupan
manusia.Pada upacara Ma’bua’ atau La’pa, Puang Matua dipuja dan dieluk-elukkan
dengan beragam lagu dan tari yang memang khusus diadakan untuk upacara Ma’bua’
tersebut.Pada upacara Ma’bua’ diadakan kurban persembahan kerbau sebagai
kurban persembahan utama yang jumlahnya bermacam-macam menurut ketentuan Lesoan
Aluk Tananan Bua’ tergantung pada masing-masing daerah adat atau tergantung
pada kemampuan keluarga. Ada kalanya Ma’bua’ ini diikuti oleh satu daerah adat
atau kelompok adat jika upacara ini menyangkut seluruh masyarakat satu daerah
serta keselamatan seluruh kehidupan dan disebut sebagai Bua’ kasalle atau La’pa
Kasalle (Bua’=perbuatan, la’pa=kelepasan, kasalle=besar).Upacara Ma’bua’
ini adalah pusat dari semua upacara serta puncak dari semua upacara dalam Aluk
Todolo yang juga merupakan dasar pembagian daerah adat Tondok Lepongan Bulan
menjadi 3 daerah adat besar berdasarkan Lesoan aluk tananan Bua’.
10) MANGRARA
BANUA ”Mangarara Banua” adalah ritual terpenting, karena
tongkonan menjadi pusat kehidupan orang Toraja. Mulai dari urusan pemerintahan
adat, perekonomian, hingga urusan memelihara silaturahim kekerabatan
dilaksanakan di tongkonan. Kekerabatan, lebih-lebih status sosial seseorang,
tidak hanya ditelusuri dari nama marga, tetapi juga dari tongkonan mana ia
berasal.”Mangarara Banua” termasuk prosesi ”Rambu Tuka’” yang langka karena
hanya dilakukan untuk selamatan tongkonan yang baru diganti atap bambu atau
dindingnya.”Penggantian atap sebuah tongkonan biasanya dilakukan 40 tahun sekali,
sesuai umur bambu yang disusun sebagai atap tongkonan yang bersangkutan,
sedangkan penggantian dinding tongkonan biasanya dilakukan 100 tahun sekali.
Proses penggantian itu berlangsung enam bulan. Dinding berukir dipesan dari
Randan Batu di wilayah Kesu, Tana Toraja.
F.
Rambu
Solo’(upacara pemakaman)
Aluk rambu solo’ adalah upacara pemakaman adat yang menjadi tradisi orang-orang Melayu
serumpun di Toraja, Sulawesi Selatan.Aluk rambu solo’ dapat
dimaknai sebagai upacara pemujaan dan penyempurnaan arwah orang yang
wafat supaya dapat berkumpul bersama leluhur di alam roh.
1.
Asal-usul
Suku bangsa Melayu di Toraja,
Sulawesi Selatan, memiliki banyak tradisi yang sakral dan unik.Salah satunya
adalah aluk rambu solo’, yakni upacara pemakaman adat orang Toraja.
Kendati dalam pelaksanaannya harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit, namun
upacara ini masih tetap lestari hingga sekarang (Tino
Saroenggalo, 2008). Istilah aluk rambu solo’
terbangun dari tiga kata, yaitu aluk (keyakinan), rambu (asap
atau sinar), dan solo’ (turun). Dengan demikian, aluk rambu solo’ dapat
diartikan sebagai upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari mulai
turun (terbenam). Sebutan lain untuk upacara ini adalah aluk rampe matampu’.
Aluk artinya keyakinan atau aturan, rampe artinya sebelah atau
bagian, dan matampu’ artinya barat.Jadi, makna aluk rampe matampu ’adalah
upacara yang dilaksanakan di sebelah barat dari rumah atau tongkonan.
Upacara aluk rambu solo’
bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia
menuju alam roh, bersama para leluhur mereka yang bertempat di puya.
Upacara ini sebagai penyempurnaan, karena orang baru dianggap benar-benar
wafat setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang
wafat itu hanya dianggap sebagai orang yang “sakit” atau “lemah”, sehingga
ia tetap diperlakukan seperti halnya ketika masih hidup, yaitu dibaringkan di
tempat tidur dan diberi makanan dan minuman, bahkan diajak berbicara. Selain
itu, orang Toraja arwahnya mencapai tingkatan dewa (to-membali puang)
untuk kemudian menjadi dewa pelindung (deata) (Mohammad Natsir Sitonda, 2007).
Aluk rambu solo’ adalah warisan ajaran leluhur Toraja.Upacara ini dilaksanakan berdasarkan
keyakinan leluhur yang disebut aluk todolo, berarti kepercayaan atau
pemujaan terhadap roh leluhur.Di dalam aluk todolo terdapat aluk
pitung sabu pitu ratu pitungpulo atau 777 aturan, salah satunya yang
berhubungan dengan pemujaan roh leluhur pada saat kematian (Sitonda,
2007). Berdasarkan status sosial orang atau tingkat
ekonomi keluarga yang diupacarakan, aluk rambu solo’ dapat dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu:
1.
Silli’, yakni upacara pemakaman untuk kasta paling rendah, yaitu kasta kua-kua
atau budak. Upacara jenis ini tidak ada pemotongan hewan sebagai persembahan
dan dibagi dalam beberapa bentuk, seperti dedekan (upacara pemakaman
dengan memukulkan wadah tempat makan babi) dan pasilamun tallo manuk
(pemakaman bersama telur ayam).
2.
Pasangbongi, yakni upacara yang hanya berlangsung satu malam. Yang termasuk jenis ini
antara lain bai a’pa’ (persembahan empat ekor babi), si tedong tungga
(persembahan satu ekor babi), di isi (pemakaman untuk anak yang
meninggal sebelum tumbuh gigi dengan persembahan seekor babi), dan ma’
tangke patomali (persembahan dua ekor babi).
3.
Di batang atau di doya tedong, yakni upacara untuk kasta tana’ basi
(bangsawan menengah) dan tana’ bulan (bangsawan tinggi). Selain kerbau,
upacara jenis ini juga mempersembahkan babi dan ayam. Upacara biasanya digelar
selama 3-7 hari berturut-turut. Pada akhir acara, dibuatkan sebuah simbuang
(menhir) sebagai monumen untuk menghormati orang yang wafat.
4.
Rapasan, yakni upacara khusus bagi golongan tana’ bulan (bangsawan tinggi)
yang digelar selama 3 hari 3 malam. Termasuk upacara jenis ini, antara lain rapasan
diongan (rapasan tingkat rendah hanya memenuhi syarat minimal
persembahan 9-12 kerbau), rapasan sundun (rapasan lengkap persembahan 24
ekor kerbau dan babi tak terbatas), dan rapasan sapu randanan (rapasan
simbolik dengan persembahan yang diandaikan 30 ekor kerbau).
Saat ini, upacara adat aluk rambu solo’
di masyarakat Toraja sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan, khususnya
dalam kelengkapan persembahan.Faktor ekonomi menjadi salah satu akar
persoalannya karena hewan persembahan biasanya berharga cukup tinggi.Misalnya,
jenis kerbau yang digunakan bukan
kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya antara
10–50 juta/ekor (Saroenggalo, 2008).
Upacara aluk rambu solo’ digelar
sesuai dengan kesiapan keluarga secara ekonomi karena membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Bagi kaum bangsawan yang mampu, biasanya akan langsung menggelar
upacara ini ketika ada anggota keluarga yang meninggal. Namun, bagi kalangan
biasa, mereka akan menunggu hingga punya cukup dana. Sementara itu, tempat
pelaksanaan upacara dipusatkan di dua lokasi, yakni di rumah duka dan di
lapangan (rante).
Peserta upacara aluk rambu solo’ adalah seluruh
keluarga orang yang wafat dan segenap warga masyarakat. Pelaksanaan upacara ini
dipimpin oleh beberapa orang khusus yang terdiri dari:
·
To mebalun atau to
ma’kayo, bertugas memimpin dan membina upacara pemakaman.
·
To ma’pemali, bertugas
melayani, merawat, dan memelihara jenazah selama upacara berlangsung.
·
To ma’kuasa, bertugas
membantu secara umum pelaksanaan pemakaman.
·
To ma’sanduk dalle, perempuan
yang khusus menyiapkan nasi bagi jenazah yang akan dimakamkan.
·
To dibulle tangnga, perempuan
yang bertugas sebagai penghubung antarpetugas upacara yang lain, khususnya yang
berkaitan dengan sesaji.
·
To sipalakuan, orang yang
bertugas memenuhi semua kebutuhan perawatan jenazah dan upacara.
·
To ma’toe bia’, seorang
laki-laki yang bertugas menyalakan api dan memegang obor selama upacara
berlangsung.
·
To masso’ boi rante, perempuan
yang bertugas membuka jalan ke rumah duka atau lapangan tempat upacara.
·
To mangengnge baka tau-tau, seseorang
yang khusus membawa tempat pakaian dari patung.
Peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara aluk
rambu solo’ antara lain:
·
Tombi saratu, kain
panjang seperti umbul-umbul.
·
Tuang-tuang atau tanda
upacara.
·
Gendang.
·
Maa’, kain
berukir sebagai tanda kemuliaan.
·
Sesaji.
·
Gong atau bombongan.
Proses pelaksanaan upacara aluk rambu solo’ meliputi
3 tahap, yaitu: persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Berikut adalah proses
pelaksanaan upacara aluk rambu solo’ yang digelar selama 4 hari.
Untuk menyiapkan upacara aluk rambu solo’,
beberapa persiapan yang harus dilakukan meliputi: pertemuan keluarga, pembuatan
pondok upacara, dan menyediakan peralatan upacara.
·
Pertemuan keluarga orang yang wafat,
baik dari pihak ibu maupun bapak, dilakukan untuk membicarakan ahli waris,
tingkat upacara yang akan dilakukan, tempat pelaksanaan upacara, dan lain-lain.
·
Pembuatan pondok upacara terdiri
dari dua macam, yaitu yang ada di halaman rumah orang yang wafat dan di
lapangan upacara. Pondok-pondok tersebut nantinya selain untuk pelaksanaan
upacara juga sebagai tempat menginap para tamu. Pondok dibangun sesuai kasta
orang yang wafat.
·
Menyediakan peralatan upacara
seperti peralatan makan, tidur, sesaji dan lain-lain.
Pelaksanaan upacara aluk rambu solo’
terbagi menjadi dua tahap, yaitu aluk pia atau aluk banua, yakni
upacara dilakukan di halaman rumah orang yang wafat (upacara tahap pertama),
dan aluk palao atau alok rante, yakni upacara yang dilakukan di
lapangan atau rante (upacara tahap kedua).
1. Aluk Pia atau Aluk Banua
Pada upacara pemakaman
di halaman rumah, jenazah tetap di rumah duka.Upacara tahap pertama ini digelar
selama 4 hari berturut-turut.Pada hari pertama dilakukan persembahan sesaji
berupa kerbau dan babi, dengan diiringi nyanyian semalam suntuk (ma’badong).Di
hari pertama ini, dilakukan juga perubahan letak jenazah sekaligus status mayat
berubah menjadi to makula, yaitu orang yang dianggap benar-benar telah
wafat.
Hari kedua, selain tetap
melantunkan nyanyian semalam suntuk, keluarga menerima masyarakat dan kerabat
yang biasanya datang dengan membawa sumbangan berupa hewan atau uang. Sumbangan
ini sebagai tanda bahwa kelak jika sang penyumbang juga menyelenggarakan
upacara, maka yang disumbang harus mengembalikannya, meskipun tidak dianggap
sebagai utang. Para tamu biasanya akan memperkenalkan kerabat masing-masing
sehingga dari sini mereka akhirnya saling mengetahui jalinan kekerabatan
mereka.
Pada hari ketiga
diadakan dua ritual.Pertama yaitu ma’bolong, penyembelihan babi di pagi
hari oleh to mebalun di mana semua orang berpakaian hitam sebagai tanda
berkabung.Kedua, ma’batang, penyembelihan kerbau di lapangan dan
dilanjutkan dengan pembacaan mantra pujian pada leluhur dari atas menara daging
(bala’kayan).
Di hari keempat
dilakukan ritual memasukkan jenazah ke dalam sebuah peti kayu.Kayu yang
digunakan harus kayu yang sudah mati (kayu mate) dan menjadi simbol
bahwa jenzah telah benar-benar mati.
2. Aluk Palao atau Aluk Rante
Tahap ini digelar di
lapangan dengan 4 prosesi, yaitu ma’ palao, allo katongkonan, allo
katorroan, mantaa padang, dan meaa.
·
Ma’ palao, jenazah dari lumbung dipindahkan di lapangan dan dibawa dengan
iringan arak-arakan. Sesampai di lapangan, kerbau dipotong dengan ditebas
langsung lehernya. Daging kerbau lalu dibagikan kepada yang hadir dengan
sebelumnya didendangkan syair-syair kedukaan yang diucapkan dalam bahasa adat
Toraja.
·
Allo katongkkonan, keluarga menerima tamu yang datang dan mencatat pemberian sumbangan.
·
Allo katorroan, keluarga dan petugas istirahat sejenak untuk membicarakan persiapan acara
puncak pesta pemakaman. Pada tahap ini, disepakati lagi berapa kerbau yang akan
dipotong.
·
Mantaa padang, acara puncak yaitu pemotongan kerbau yang telah disepakati sebelumnya.
Daging kerbau kemudian dibagikan kepada keluarga dan kerabat sesuai adat.
Terkadang ada kerbau yang dibiarkan hidup tapi sudah diniatkan untuk disembelih
dan disumbangkan untuk masyarakat.
·
Me aa, jenazah
diturunkan dari lakian atau ke tempat pemakaman, kemudian digelar ibadah
pemakaman, ungkapan belasungkawa, ucapan terima kasih dari keluarga, dan
prosesi pemakaman jenazah.
Upacara aluk rambu solo’ dinyatakan
berakhir jika jenazah telah selesai dimakamkan.Saat ini, pelaksanaan upacara aluk
rambu solo’ telah banyak berubah. Salah satu perubahannya adalah digelarnya
upacara selama 12 hari dengan urutan acara sebagai berikut: Ma’pasuluk (pertemuan
keluarga), mangriu’ batu (menarik batu simbuang), ma’ pasa tedong
(menghitung ulang hewan korban), ma’ pengkalao (memindahkan jenazah ke tongkonan),
mangisi lantang (mengisi pondok), ma’ pasonglo (memindahkan
jenazah dari lumbung), allo katongkonan
(keluarga menerima tamu), allo katorroan (istirahat), mantaa padang (memotong hewan korban), dan me
aa (pemakaman jenazah).
Untuk lebih memperjelas, berikut
kami paparkan hasil dialog antara wartawan detiknews.com dengan masyarakat
setempat.
“Tanah Toraja di Sulsel, adalah
tempat di mana adat istiadat dan agama hidup dengan harmonis. Berkunjung ke
sana tak ubahnya seperti berziarah. Ada pesta kematian dan kuburan yang menjadi
daya tarik paling menarik untuk turis.
"Kami orang Toraja lebih meriah dalam merayakan pesta kematian ketimbang kelahiran atau pernikahan," itulah yang dikatakan ibu pemilik rental motor di Rantepao pagi hari kepada saya.
Beruntungnya, ibu pemilik rental motor yang kami datangi adalah mantan pemandu wisata. Dengan cuma-cuma, saya pun diberi peta gratis, berserta rekomendasi tempat-tempat menarik yang dibisa dikunjungi selama 2 hari.
Ditempuh melalui darat, perjalanan dari Makassar-Tana Toraja memakan waktu cukup lama, yaitu 7 jam.Meski begitu, tidak menyurutkan semangat kami untuk menjelajahi daerah yang terkenal dengan aura magisnya.
Jika dilihat secara administratif, Tana Toraja terbagi menjadi dua, yaitu Kabupaten Tana Toraja dengan Ibukota Makale, dan Kabupaten Toraja Utara dengan Ibukota Rantepao.
Di Rantepao inilah para turis biasanya menjejakkan kaki.Maklum, destinasi-destinasi menarik di Toraja lebih banyak tersebar di utara, sehingga lebih mudah untuk dicapai dari sini.
Setelah mendapat motor, kami segera bergegas mencari sarapan dan penginapan.Meskipun mayoritas penduduknya beragama Kristen, mencari makanan halal di Rantepao bukanlah hal yang sulit.
Di sana sudah tersedia banyak warung makan berlabel halal di tiap sudutnya. Biasanya penjual di warung ini adalah para perantau dari Jawa. Mereka mencari peruntungan di kota yang dulu merupakan wilayah paling misterius di Sulawesi ini. Tana Toraja memang misterius. Konon, Belanda sempat mengacuhkan tempat ini selama dua abad karena sangat sulitnya akses menuju ke sana.
Daerah yang dikelilingi oleh gunung dan tebing-tebing curam ini baru benar-benar dikenal oleh dunia internasional pada tahun 1970-an. Hal itu terjadi setelah National Geographic mendokumentasikan upacara pemakaman bangsawan terakhir Toraja yang berdarah murni, Puang dari Sangalla.
Mencari penginapan di sini juga mudah.Ada bermacam penginapan dengan harga dan fasilitas yang bervariasi. Tetapi karena saya berkunjung pada bulan Desember, bulan di mana warga Toraja dari berbagai penjuru dunia akan mudik untuk merayakan natal bersama keluarga. Inilah bulan di mana turis lebih banyak berdatangan demi melihat upacara-upacara yang bakal lebih banyak dilaksanakan.Konsekuensinya jelas, penginapan lebih banyak yang penuh dan harga sewanya dinaikkan.
Saya dan tiga orang teman yang lain mendapat satu-satunya kamar yang tersisa di sebuah home stay yang tidak terlalu nyaman. Setelah tawar-menawar, disepakati harga Rp 250 ribu untuk semalam dan bisa diisi empat orang.
Destinasi hari pertama adalah ke utara, ke arah pegunungan. Motor sewaan bekerja keras untuk melewati jalanan menanjak yang berlubang. Satu dua motor yang 'membonceng' babi melewati kami.
Tak lama kemudian, melintas pula beberapa mobil pick-up yang mengangkut kerbau.Saya diberitahu sebelumnya, jika ada orang yang membawa babi atau kerbau di jalan, kemungkinan besar mereka sedang menuju tempat pesta.Ternyata benar, di daerah Bori sedang dilaksanakan pesta kematian.
Kami memarkirkan motor di pinggir jalan, berdampingan dengan motor-motor lain yang entah milik keluarga, kerabat, atau mungkin sama-sama orang asing seperti kami. Satu hal yang saya tangkap dalam pesta kematian orang Toraja adalah meriah.
Para pemuda menyembelih babi, menampung darahnya dalam batang-batang bambu.Kemudian membakar bulunya hingga rontok menggunakan selang panjang yang terhubung dengan tabung gas.Beberapa ibu memasak daging yang telah siap diolah di dalam wajan-wajan besar, sedangkan anak-anak berlarian kesana-kemari.
Sebagian besar sisanya asyik berbincang di bawah sederetan tongkonan (rumah adat Toraja), sambil mendengarkan semacam pidato, doa, serta mantra. Untaian doa dan mantra ini diucapkan oleh seorang tetua adat lewat pengeras suara. Sama sekali tidak ada aura duka.Belum lagi rangkaian adu kerbau dan pembantaian kerbau yang alih-alih mengundang kesedihan, tetapi malah mengundang sorak-sorai dari siapa pun yang hadir.
Terbesit dalam pikiran saya, apa yang dirasakan keluarga yang ditinggalkan dalam pesta semacam ini. Apakah mereka bahagia, atau justru menyembunyikan kesedihannya di sela gelak tawa.Jawabannya datang dari seorang pemuda Toraja yang saya temui.
Dia bilang, pada saat ada orang meninggal, orang-orang di sekitarnya pastilah sedih.Tapi adat adalah adat.Pesta tetap harus dilakukan. Akhirnya kesedihan itu akan tergantikan oleh kesibukan menyiapkan pesta.
Orang Toraja menganggap kematian adalah sesuatu yang sakral.Bagi mereka kematian bukanlah akhir dari perjalanan hidup seseorang. Ketika meninggal, arwah seseorang akan melakukan perjalanan menuju tempat bernama Puya. Untuk mempermulus perjalanan orang arwah tersebut, orang-orang yang masih meninggal akan mempersembahkan kerbau sebagai kendaraan, dan babi sebagai makanannya.
Maka bisa dipahami, mengapa keluarga yang ditinggalkan akan berusaha sekuat tenaga untuk mempersembahkan kerbau dan babi sebanyak mungkin. Selain untuk mempermudah perjalanan si arwah, kuantitas persembahan juga berpengaruh pada status sosial keluarga tersebut. Orang Toraja juga percaya, jika pesta kematian tidak dilakukan dengan "layak", ketidakberuntungan akan menaungi keluarga mereka serupa mendung.
Karena salah satu teman saya tidak tahan melihat darah babi yang menggenang di tanah, kami pun melanjutkan perjalanan.Destinasi berikutnya adalah Bori Parinding, sebuah komplek kuburan untuk masyarakat dari desa sekitarnya.
Harap diingat, orang Toraja tidak mengubur mayat di dalam tanah, tetapi di dalam batu.Mereka menganggap tanah adalah elemen suci yang menumbuhkan kehidupan, sehingga mayat lebih baik disimpan dalam batu. Kondisi geografis Tana Toraja yang dikelilingi oleh batu-batu granit raksasa pula lah menurut saya yang memungkinkan budaya itu ada.
Di Bori Parinding, selain terdapat batu-batu besar yang telah diisi dengan peti mati, foto almarhum yang dibingkai rapi serta keranda-keranda mayat juga ada. Selain itu juga terdapat banyak sekali batu menhir berbentuk phallus.
Batu-batu menhir dengan berbagai ukuran itu merupakan buatan masyarakat sekitar sebagai penanda jika ada pemuka masyarakat yang meninggal.Tradisi unik tersebut sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Saya tidak tahu apa alasan tepatnya pembuatan menhir-menhir ini. Namun kehadiran batu-batu tegak berbentuk alat kelamin pria di berbagai budaya dipercaya merupakan simbol. Simbol ini mewakili oposisi biner yang jika dikawinkan akan menumbuhkan kehidupan baru. Mungkin di sini juga seperti itu.
Di antara menhir-menhir tersebut terdapat semacam rumah pohon bernama lakian.Lakian merupakan tempat untuk membagikan daging kerbau dan babi yang telah dipotong. Kemudian semua yang hadir akan makan bersama di salah satu tongkonan bernama Balai Kayam.
Destinasi berikutnya adalah kuburan bayi di Pana.Perjalanan ke Pana merupakan pengalaman yang menyejukkan, karena melewati sebuah daerah yang luar biasa indah bernama Batutumonga.
Daerah ini merupakan dataran tinggi di mana kita bisa melihat Kota Rantepao dan hampir keseluruhan Tana Toraja dengan begitu jelas.Sungai-sungai kecil yang mengairi area persawahan, yang sebenarnya merupakan pemandangan yang biasa ditemui di Jawa, menjadi tampak sangat istimewa dengan kehadiran kerbau dan burung jalak yang mencari kutu di atasnya.
Tak ketinggalan beberapa atap tongkonan yang menyembul dari kejauhan.Sungguh ganjil pikir saya, kehidupan justru terasa sangat hidup di daerah yang identik dengan kematian ini.
Satu hal yang sangat saya sayangkan dari Toraja Utara adalah minimnya papan penunjuk arah.Kalau pun ada papan penunjuk, itu adalah buatan mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang seringkali malah membingungkan.
Untuk sampai ke kuburan bayi ini, kami harus berkali-kali bertanya kepada warga sekitar.Tempatnya tersembunyi di sebuah tebing di balik kebun dan pepohonan. Tebing setinggi belasan meter dilubangi untuk di sana-sini untuk kemudian dimasukkan peti-peti mungil berisi jenazah bayi.
Di dasar tebing terlihat beberapa tengkorak dan belulang yang terkumpul dalam peti panjang. Entah jatuh atau sengaja diletakkan di sana, karena ada pula beberapa daerah yang menaruh peti berisi jenazah bayi di atas pohon, bukan di dalam batu.
Mungkin karena tempatnya yang tersembunyi dari keramaian dan lembab oleh embun dan pepohonan, suasana di kuburan bayi itu terasa sunyi dan dingin, sangat dingin.Mungkin juga karena semesta sengaja mendesain tempat yang nyaman untuk para arwah bayi itu agar mereka lelap dalam tidur panjangnya.
Hari itu kami habiskan dengan berkeliling kota karena hujan tak lama turun dengan derasnya. Esoknya kami lanjut berkendara menuju selatan. Untuk mengunjungi objek wisata di sana, membutuhkan lebih banyak usaha ketimbang di utara.
Dibandingkan akses jalan menuju utara yang sempit dan berlubang, jalan menuju selatan sangat lebar dan mulus.Maklum, ini adalah jalan penghubung Rantepao dan Makele yang selalu ramai dilewati.
Pengaruhnya jelas, yaitu objek-objek wisata di selatan Rantepao begitu mudah didatangi.Apalagi telah ada papan penunjuk raksasa yang disponsori oleh satu satu perusahaan operator selular.Pengelolaannya pun lebih bagus.Lebih bersih, lebih tertata, dan lebih rapi.
Tempat pertama yang kami datangi adalah Londa.Ini adalah kuburan di dalam gua.Di dinding luar gua, terdapat jajaran boneka-boneka kayu berbentuk manusia yang merupakan perwujudan dari orang yang meninggal.Boneka-boneka itu bernama tau-tau.Tau-tau tidak dibuat untuk sembarang orang, boneka yang terbuat dari kayu pohon nangka ini hanya dibuat untuk para bangsawan.
Untuk masuk ke dalam gua, kita membutuhkan jasa pemandu yang merangkap sebagai pembawa lampu petromak. Menurut guide kami, kuburan gua ini khusus digunakan oleh keluarga Tongkele.
Pertama jenazah akan diawetkan dengan balsem agar tidak berbau. Kemudian dimasukkan ke dalam peti dan ditaruh di sudut-sudut gua yang cukup panjang. Peti-peti yang sudah lapuk akan hancur, dan tengkorak serta tulang-belulang si jenazah akan dikumpulkan di satu tempat.
"Kenapa tidak dimasukkan ke peti yang baru?" tanya saya kepada guide.
"Karena untuk mengganti peti harus melalui upacara lagi, biayanya sangat besar," jawab guide kami.
Melihat ke salah satu sudut gua, terdapat sepasang tengkorak yang diletakkan berdampingan.Masyarakat sekitar sini menyebut mereka sebagai "Romeo & Juliet"-nya Toraja.
Mereka adalah sepasang kekasih yang hubungannya tidak direstui oleh orangtua, lantaran hubungan mereka masih sepupu dekat.Kemudian suatu hari keduanya gantung diri bersama-sama.Saya tersenyum, kematian justru malah membuat mereka dengan tenang bisa berdampingan selamanya.”
"Kami orang Toraja lebih meriah dalam merayakan pesta kematian ketimbang kelahiran atau pernikahan," itulah yang dikatakan ibu pemilik rental motor di Rantepao pagi hari kepada saya.
Beruntungnya, ibu pemilik rental motor yang kami datangi adalah mantan pemandu wisata. Dengan cuma-cuma, saya pun diberi peta gratis, berserta rekomendasi tempat-tempat menarik yang dibisa dikunjungi selama 2 hari.
Ditempuh melalui darat, perjalanan dari Makassar-Tana Toraja memakan waktu cukup lama, yaitu 7 jam.Meski begitu, tidak menyurutkan semangat kami untuk menjelajahi daerah yang terkenal dengan aura magisnya.
Jika dilihat secara administratif, Tana Toraja terbagi menjadi dua, yaitu Kabupaten Tana Toraja dengan Ibukota Makale, dan Kabupaten Toraja Utara dengan Ibukota Rantepao.
Di Rantepao inilah para turis biasanya menjejakkan kaki.Maklum, destinasi-destinasi menarik di Toraja lebih banyak tersebar di utara, sehingga lebih mudah untuk dicapai dari sini.
Setelah mendapat motor, kami segera bergegas mencari sarapan dan penginapan.Meskipun mayoritas penduduknya beragama Kristen, mencari makanan halal di Rantepao bukanlah hal yang sulit.
Di sana sudah tersedia banyak warung makan berlabel halal di tiap sudutnya. Biasanya penjual di warung ini adalah para perantau dari Jawa. Mereka mencari peruntungan di kota yang dulu merupakan wilayah paling misterius di Sulawesi ini. Tana Toraja memang misterius. Konon, Belanda sempat mengacuhkan tempat ini selama dua abad karena sangat sulitnya akses menuju ke sana.
Daerah yang dikelilingi oleh gunung dan tebing-tebing curam ini baru benar-benar dikenal oleh dunia internasional pada tahun 1970-an. Hal itu terjadi setelah National Geographic mendokumentasikan upacara pemakaman bangsawan terakhir Toraja yang berdarah murni, Puang dari Sangalla.
Mencari penginapan di sini juga mudah.Ada bermacam penginapan dengan harga dan fasilitas yang bervariasi. Tetapi karena saya berkunjung pada bulan Desember, bulan di mana warga Toraja dari berbagai penjuru dunia akan mudik untuk merayakan natal bersama keluarga. Inilah bulan di mana turis lebih banyak berdatangan demi melihat upacara-upacara yang bakal lebih banyak dilaksanakan.Konsekuensinya jelas, penginapan lebih banyak yang penuh dan harga sewanya dinaikkan.
Saya dan tiga orang teman yang lain mendapat satu-satunya kamar yang tersisa di sebuah home stay yang tidak terlalu nyaman. Setelah tawar-menawar, disepakati harga Rp 250 ribu untuk semalam dan bisa diisi empat orang.
Destinasi hari pertama adalah ke utara, ke arah pegunungan. Motor sewaan bekerja keras untuk melewati jalanan menanjak yang berlubang. Satu dua motor yang 'membonceng' babi melewati kami.
Tak lama kemudian, melintas pula beberapa mobil pick-up yang mengangkut kerbau.Saya diberitahu sebelumnya, jika ada orang yang membawa babi atau kerbau di jalan, kemungkinan besar mereka sedang menuju tempat pesta.Ternyata benar, di daerah Bori sedang dilaksanakan pesta kematian.
Kami memarkirkan motor di pinggir jalan, berdampingan dengan motor-motor lain yang entah milik keluarga, kerabat, atau mungkin sama-sama orang asing seperti kami. Satu hal yang saya tangkap dalam pesta kematian orang Toraja adalah meriah.
Para pemuda menyembelih babi, menampung darahnya dalam batang-batang bambu.Kemudian membakar bulunya hingga rontok menggunakan selang panjang yang terhubung dengan tabung gas.Beberapa ibu memasak daging yang telah siap diolah di dalam wajan-wajan besar, sedangkan anak-anak berlarian kesana-kemari.
Sebagian besar sisanya asyik berbincang di bawah sederetan tongkonan (rumah adat Toraja), sambil mendengarkan semacam pidato, doa, serta mantra. Untaian doa dan mantra ini diucapkan oleh seorang tetua adat lewat pengeras suara. Sama sekali tidak ada aura duka.Belum lagi rangkaian adu kerbau dan pembantaian kerbau yang alih-alih mengundang kesedihan, tetapi malah mengundang sorak-sorai dari siapa pun yang hadir.
Terbesit dalam pikiran saya, apa yang dirasakan keluarga yang ditinggalkan dalam pesta semacam ini. Apakah mereka bahagia, atau justru menyembunyikan kesedihannya di sela gelak tawa.Jawabannya datang dari seorang pemuda Toraja yang saya temui.
Dia bilang, pada saat ada orang meninggal, orang-orang di sekitarnya pastilah sedih.Tapi adat adalah adat.Pesta tetap harus dilakukan. Akhirnya kesedihan itu akan tergantikan oleh kesibukan menyiapkan pesta.
Orang Toraja menganggap kematian adalah sesuatu yang sakral.Bagi mereka kematian bukanlah akhir dari perjalanan hidup seseorang. Ketika meninggal, arwah seseorang akan melakukan perjalanan menuju tempat bernama Puya. Untuk mempermulus perjalanan orang arwah tersebut, orang-orang yang masih meninggal akan mempersembahkan kerbau sebagai kendaraan, dan babi sebagai makanannya.
Maka bisa dipahami, mengapa keluarga yang ditinggalkan akan berusaha sekuat tenaga untuk mempersembahkan kerbau dan babi sebanyak mungkin. Selain untuk mempermudah perjalanan si arwah, kuantitas persembahan juga berpengaruh pada status sosial keluarga tersebut. Orang Toraja juga percaya, jika pesta kematian tidak dilakukan dengan "layak", ketidakberuntungan akan menaungi keluarga mereka serupa mendung.
Karena salah satu teman saya tidak tahan melihat darah babi yang menggenang di tanah, kami pun melanjutkan perjalanan.Destinasi berikutnya adalah Bori Parinding, sebuah komplek kuburan untuk masyarakat dari desa sekitarnya.
Harap diingat, orang Toraja tidak mengubur mayat di dalam tanah, tetapi di dalam batu.Mereka menganggap tanah adalah elemen suci yang menumbuhkan kehidupan, sehingga mayat lebih baik disimpan dalam batu. Kondisi geografis Tana Toraja yang dikelilingi oleh batu-batu granit raksasa pula lah menurut saya yang memungkinkan budaya itu ada.
Di Bori Parinding, selain terdapat batu-batu besar yang telah diisi dengan peti mati, foto almarhum yang dibingkai rapi serta keranda-keranda mayat juga ada. Selain itu juga terdapat banyak sekali batu menhir berbentuk phallus.
Batu-batu menhir dengan berbagai ukuran itu merupakan buatan masyarakat sekitar sebagai penanda jika ada pemuka masyarakat yang meninggal.Tradisi unik tersebut sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Saya tidak tahu apa alasan tepatnya pembuatan menhir-menhir ini. Namun kehadiran batu-batu tegak berbentuk alat kelamin pria di berbagai budaya dipercaya merupakan simbol. Simbol ini mewakili oposisi biner yang jika dikawinkan akan menumbuhkan kehidupan baru. Mungkin di sini juga seperti itu.
Di antara menhir-menhir tersebut terdapat semacam rumah pohon bernama lakian.Lakian merupakan tempat untuk membagikan daging kerbau dan babi yang telah dipotong. Kemudian semua yang hadir akan makan bersama di salah satu tongkonan bernama Balai Kayam.
Destinasi berikutnya adalah kuburan bayi di Pana.Perjalanan ke Pana merupakan pengalaman yang menyejukkan, karena melewati sebuah daerah yang luar biasa indah bernama Batutumonga.
Daerah ini merupakan dataran tinggi di mana kita bisa melihat Kota Rantepao dan hampir keseluruhan Tana Toraja dengan begitu jelas.Sungai-sungai kecil yang mengairi area persawahan, yang sebenarnya merupakan pemandangan yang biasa ditemui di Jawa, menjadi tampak sangat istimewa dengan kehadiran kerbau dan burung jalak yang mencari kutu di atasnya.
Tak ketinggalan beberapa atap tongkonan yang menyembul dari kejauhan.Sungguh ganjil pikir saya, kehidupan justru terasa sangat hidup di daerah yang identik dengan kematian ini.
Satu hal yang sangat saya sayangkan dari Toraja Utara adalah minimnya papan penunjuk arah.Kalau pun ada papan penunjuk, itu adalah buatan mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang seringkali malah membingungkan.
Untuk sampai ke kuburan bayi ini, kami harus berkali-kali bertanya kepada warga sekitar.Tempatnya tersembunyi di sebuah tebing di balik kebun dan pepohonan. Tebing setinggi belasan meter dilubangi untuk di sana-sini untuk kemudian dimasukkan peti-peti mungil berisi jenazah bayi.
Di dasar tebing terlihat beberapa tengkorak dan belulang yang terkumpul dalam peti panjang. Entah jatuh atau sengaja diletakkan di sana, karena ada pula beberapa daerah yang menaruh peti berisi jenazah bayi di atas pohon, bukan di dalam batu.
Mungkin karena tempatnya yang tersembunyi dari keramaian dan lembab oleh embun dan pepohonan, suasana di kuburan bayi itu terasa sunyi dan dingin, sangat dingin.Mungkin juga karena semesta sengaja mendesain tempat yang nyaman untuk para arwah bayi itu agar mereka lelap dalam tidur panjangnya.
Hari itu kami habiskan dengan berkeliling kota karena hujan tak lama turun dengan derasnya. Esoknya kami lanjut berkendara menuju selatan. Untuk mengunjungi objek wisata di sana, membutuhkan lebih banyak usaha ketimbang di utara.
Dibandingkan akses jalan menuju utara yang sempit dan berlubang, jalan menuju selatan sangat lebar dan mulus.Maklum, ini adalah jalan penghubung Rantepao dan Makele yang selalu ramai dilewati.
Pengaruhnya jelas, yaitu objek-objek wisata di selatan Rantepao begitu mudah didatangi.Apalagi telah ada papan penunjuk raksasa yang disponsori oleh satu satu perusahaan operator selular.Pengelolaannya pun lebih bagus.Lebih bersih, lebih tertata, dan lebih rapi.
Tempat pertama yang kami datangi adalah Londa.Ini adalah kuburan di dalam gua.Di dinding luar gua, terdapat jajaran boneka-boneka kayu berbentuk manusia yang merupakan perwujudan dari orang yang meninggal.Boneka-boneka itu bernama tau-tau.Tau-tau tidak dibuat untuk sembarang orang, boneka yang terbuat dari kayu pohon nangka ini hanya dibuat untuk para bangsawan.
Untuk masuk ke dalam gua, kita membutuhkan jasa pemandu yang merangkap sebagai pembawa lampu petromak. Menurut guide kami, kuburan gua ini khusus digunakan oleh keluarga Tongkele.
Pertama jenazah akan diawetkan dengan balsem agar tidak berbau. Kemudian dimasukkan ke dalam peti dan ditaruh di sudut-sudut gua yang cukup panjang. Peti-peti yang sudah lapuk akan hancur, dan tengkorak serta tulang-belulang si jenazah akan dikumpulkan di satu tempat.
"Kenapa tidak dimasukkan ke peti yang baru?" tanya saya kepada guide.
"Karena untuk mengganti peti harus melalui upacara lagi, biayanya sangat besar," jawab guide kami.
Melihat ke salah satu sudut gua, terdapat sepasang tengkorak yang diletakkan berdampingan.Masyarakat sekitar sini menyebut mereka sebagai "Romeo & Juliet"-nya Toraja.
Mereka adalah sepasang kekasih yang hubungannya tidak direstui oleh orangtua, lantaran hubungan mereka masih sepupu dekat.Kemudian suatu hari keduanya gantung diri bersama-sama.Saya tersenyum, kematian justru malah membuat mereka dengan tenang bisa berdampingan selamanya.”
Dalam upacara adat aluk rambu solo’, terdapatdoa-doa
yang dilantunkan, antara lain:
a.
Doa permohonan perlindungan.
b.
Doa pengagungan kepada leluhur.
c.
Doa kepada orang yang wafat agar
arwahnya diterima.
Terdapat pantangan dalam upacara
adat aluk rambu solo’, yakni selama upacara berlangsung, seluruh peserta
upacara dilarang membuat gaduh pada saat mantra dibacakan, dan untuk pihak
keluarga tidak boleh membatalkan sesaji yang telah disepakati.
G.
Ukiran Toraja
Ukiran Toraja bukan hanya sebagai gambar yang
diciptakan begitu saja untuk menghiasi suatu bentuk atau benda ataupun
Tongkonan tetapi seluruh macam ukiran itu lahir dari pengertian masalah hidup
atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan masyarakat, makanya seluruh
ukiran yang ada sekarang mempunyai arti yang dalam. Menurut sejarah ukiran pada
mulanya hanya dikenal 4 (empat) bentuk dasar gambar (lambang) yaitu lambang
dari 4 (empat) pokok kehidupan manusia, dan kemudiaan diaplikasikan pada Rumah
Tongkonan dengan maksud akan tetap menjadi perhatian dan selalu diingat oleh
masyarakat. Oleh karena itu pemasangan ukiran tidak diletakkan sembarangan
tempat pada bangunan Tongkonan atau rumah, tapi dipasang menurut pandangan dan
falsafah hidup Toraja (Aluk Sanda Pitunnna). Keempat dasar ukiran tersebut
disebut Garonto’ Passura’ (pokok ukiran) yaitu : Pa’ Barre’ Allo, Pa’ Manuk
Londong, Pa’ Tedong dan Pa’ Sussu’.
Sampai saat ini dalam masyarakat Toraja dikenal 4
golongan Passura’ berdasarkan peranan dan arti Passura’ (ukiran), yaitu :
1.
Garonto’ Passura’ (Pokok-pokok
ukiran) adalah mempunyai peranan simbol dasar kehidupan orang Toraja, yaitu :
Pa’ Barre’ Allo, Pa’ Manuk Londong, Pa’ Tedong dan Pa’ Sussu’
2.
Passura’ Todolo (Ukiran Tua) adalah
ukiran yang menyangkut peralatan upacara yang dianggap berkasiat bagi
pemakainya, yaitu : Pa’ Erong, Pa’ Ulu Karua, Pa’ Doti Langi’, Pa’ Kadang Pao,
Pa’ Barana’, Pa’ Bai, Pa’ Lolo Tabang, Pa’ Daun Bolu, Pa’ Daun Paria, Pa’ Bombo
Wai, Pa’ Kapu’ Baka, Pa’ Tangke Lumu’, Pa’ Bungkang Tasik, Pa’ Lolo Paku, Pa’
Tangki’ Pattung, Pa’ Bulintong, Pa’ Katik, Pa’ Talinga Tedong, dan lain-lain.
3.
Passura’ Malolle’ (Ukiran kemajuan
dan perkembangan), yaitu ukiran yang banyak dipakai mengukir bangunan yang
tidak mempunyai peranan adat (Tongkonan Batu A’riri). Ukiran ini digunakan
sebagai simbol sikap dan tingkah laku sosial atau pergaulan dengan dibatasi
oleh pranata etika dan moral. Adakalanya ukiran ini ada pertalian arti dan
maknanya dengan ukiran Passura’ Todolo, yaitu : Pa’ Sala’bi’, Pa’ Tanduk Ra’pe,
Pa’ Tukku Pare, Pa’ Bunga Kaliki, Pa’ Poya Munda, Pa’ Bulintong Siteba’, Pa’
Bulintong Situru’, Pa’ Karrang Longa, Pa’ Papan Kandaure, Pa’ Passulan, Pa’
Sepu’ Torongkong, dan lain-lain.
4.
Ukiran Pa’ Barrean (ukiran
kesenangan) merupakan ukiran yang terdiri atas potongan-potongan yang sama
bentuknya ada yang lurus dan adapula yang yang berupa lengkung, yaitu : Pa’
Bannangan, Pa’ Barra’-barra’, Pa Manik Bu’ku’, Pa’ Ara’ Dena’, Pa’ Komba
Kalua’, Pa’ Bua Kapa’, Pa’ Gayang, dan lain-lain.
Beberapa jenis ukiran Toraja yaitu sebagai berikut:
Pa’Barre Allo
Berasal dari
Bahasa Toraja, yaitu Barre: Bulatan atau Bundaran dan Allo: Matahari. Pa’Barre
Allo berarti ukiran yang menyerupai matahari yang bersinar terang, memberi
kehidupan kepada seluruh mahluk penghuni alam semesta. Ukiran ini diletakkan
pada bagian rumah adat yang berbentuk segitiga dan mencuat condong keatas yang
dalam bahasa Toraja disebut Para Longa,dan di letakkan di bagian belakang dan
depan Rumah adat. Ukiran ini biasa diletakkan diatas ukiran Pa’Manuk Londong.
Ne’ Lingbongan
Menurut cerita,
Ne’ Limbongan adalah nama seorang ahli bangunan pada zaman dahulu yang
menciptakan ukiran-ukiran tradisional Toraja.
Sedangkang menurut arti katanya Limbong berarti
danau atau sumber air yang tidak pernah kering, memberi kehidupan dan kesegaran
bagi manusia, flora dan fauna di lingkungan sekitarnya.Ukiran ini bermakna
bahwa orang Toraja bertekad memperoleh rexeki dari empat penjuru mata angin
(utara, timur, barat, dan selatan) bagaikan mata air yang bersatu dalam satu
danau dan memberi kebahagiaan kepada keturunannya.
Pa’ Ulu Karua
Berasal dari dua
kata (Toraja) yaitu Ulu: Kepala, dan Karua:Delapan. Menurut mitos, Toraja
dahulu kala ada delapan orang Toraja yang masing-masing menurunkan ilmu
pengetahuan menyangkut kehidupan ini.Kehidupan orang ini diciptakan olehPuang
Anggemaritik (Puang Matua atau Tuhan) dalam sebuah puputan kembar ajaib dan
masing-masing di karunia Ilmu pengetahuan yang berbeda-beda.Makna ukiran ini
adalah orang Toraja mengharapkan dalam rumpun keluargamereka, muncul orang yang
memiliki ilmu yang tinggi dan berguna untuk kepentingan masyarakat.
Untuk mengukir ukiran Toraja tersebut menggunakan
warna yang terdiri warna alam yang mengandung arti dan makna tersendiri bagi masyarakat
Toraja, yaitu sesuai dengan falsafah hidup dan perkembangan hidup manusia
Toraja.Oleh karena itu penggunaan warna pada ukiran tersebut tidak boleh
diganti /dirubah dalam pemakaian. Bahan warna Passura’ (ukiran) disebut Litak
yang merupakan warna dasar bagi masyarakat Toraja yaitu :
1.
Warna merah (Litak Mararang)
2.
Warna putih (Litak Mabusa)
3.
Warna kuning (Litak Mariri)
4.
Warna hitam (Litak Malotong)
Warna merah dan putih merupakan warna darah dan tulang
manusia yang melambangkan kehidupan manusia.Warna tersebut dapat dipergunakan
dimana saja pada waktu ada upacara adat maupun dalam kehidupan
sehari-hari.Warna kuning merupakan warna kemuliaan sebagai lambang ketuhanan
yang dipergunakan pada waktu upacara Rambu Tuka’ demi untuk keselamatan
manusia.Sedang warna hitam merupakan lambang dari kematian atau kegelapan
dipakai pada waktu upacara Rambu Solo’ (upacara kematian).Arti warna hitam pada
dasar setiap Passura’ (ukiran) adalah bahwa kehidupan setiap manusia diliputi
oleh kematian karena menurut pandangan Aluk Todolo bahwa dunia ini hanya
sebagai tempat bermalam saja atau tempat menginap sementara.
Semua warna Passura’ seperti yang tersebut diatas
merupakan warna alam karena bahannya dari tanah, kecuali untuk warna hitam
diambil dari arang belanga.Penggunaan bahan ini lebih tahan lama terhadap cuaca
dan iklim dibandingkan dengan warna dari bahan sintesis.
H.
Bahasa, Tarian, dan
Musik Toraja
Ø Bahasa
Bahasa Toraja adalah
bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa
yang utama.Bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi
bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah
dasar di Tana Toraja.
Ragam
bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae'
,Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam
rumpun bahasa
Melayu-Polinesiadari bahasa Austronesia. Pada mulanya,
sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam
bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja,
beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi,
yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari
keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam
bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara
kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan
duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa
Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan,
depresi, dan tekanan mental.Merupakan suatu katarsis bagi
orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa
kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk
mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Ø Tarian
Lakon Ritual
Aluk Todolo dalam menunaikan aturan keagamaan yang berwujud pada pemujaan
terhadap Puang Matua, Deata maupun To Mambali Puang, banyak dimanifestasikan
dalam bentuk seni tradisional seperti seni tari, seni suara, seni musik, seni
sastra tutur, seni ukir dan seni pahat.
Kesenian
yang diapresiasikan senantiasa berkaitan dengan Aluk Rambu Tuka’ dan Aluk Rambu
Solo’.Pada umumnya jenis-jenis kesenian yang dipentaskan secara khusus untuk
masing-masing kegiatan ritual adat, baik Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’.Namun
ada juga jenis kesenian yang dipentaskan pada kedua jenis ritual.Jenis kesenian
tersebut disebut Ada’ Basse Bubung, yaitu kesenian yang boleh dipentaskan pada
upacara kegembiraan Aluk Rampe Matallo maupun pada acara kedukaan Aluk Rampe
Matampu’.
Hampir semua
ragam seni yang dipentaskan merupakan perpaduan beberapa ragam seni, seperti
perpaduan antara seni suara dengan seni tari, seni tari dengan seni musik, atau
seni suara dengan seni musik. Jenis kesenian yang telah dikembangkan dalam
budaya masyarakat Tana Toraja antara lain :
Ø Musik
Di samping seni tari dan seni suara serta pantun juga diperkenalkan seni
musik tradisional Toraja antara lain :
PASSULING
Semua lagu-lagu hiburan duka dapat diikuti dengan suling tradisional Toraja
(Suling Lembang).Passuling ini dimainkan oleh laki-laki untuk mengiringi
lantunan lagu duka (Pa'marakka) dalam menyambut keluarga atau kerabat yang
menyatakan dukacitanya.Passuling ini dapat juga dimainkan di luar acara
kedukaan, bahkan boleh dimainkan untuk menghibur diri dalam keluarga di
pedesaan sambil menunggu padi menguning.
PA'PELLE'/PA'BARRUNG
Musik digemari oleh anak-anak gembala menjelang menguningnya padi di
sawah.Alat musiknya terbuat dari batang padi dan disambung sehingga mirip
terompet dengan daun enau yang besar.Pa'barrung ini merupakan musik khusus pada
upacara pentahbisan rumah adat (Tongkonan) seperti Ma'bua', Merok, Mangara dan
sejenisnya.
PA'POMBANG/PA'BAS
Inilah musik bambu yang pagelarannya merupakan satu simponi
orkestra.Dimainkan oleh banyak orang biasanya murid-murid sekolah di bawah
pimpinan seorang dirigen.Musik bambu jenis ini sering diperlombakan pada
perayaan bersejarah seperti hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI,
Peringatan Hari Jadi tana Toraja.Lagu yang dimainkan bisa lagu-lagu nasional,
lagu-lagu daerah Tana Toraja, lagu-lagu gerejawi, dan lagu-lagu daerah di
seluruh Indonesia.
PA'KAROBBI
Alat kecil dengan benang halus diletakkan pada bibir.Benang atau bibir
disentak-sentak sehingga menimbulkan bunyi yang berirama halus namun
mengasyikkan.
PA'TULALI'
Bambu kecil yang halus, dimainkan sehingga menimbulkan bunyi/suara yang
lumayan untuk menjadi hiburan.
PA'GESO'GESO'
Sejenis alat musik gesek.Terbuat dari kayu dan tempurung kelapa yang diberi
dawai. Dawai yang digesek dengan alat khusus yang terbuat dari bilah bambu dan
tali akan menimbulkan suara khas. Alat ini mengeluarkan nada sesuai dengan
tekanan jari si pemain pada dawai. Pa'geso'-geso' terkenal dari Kecamatan
Saluputti.
Bab III Penutup
A.
Kesimpulan
Dari materi yang sudah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa Indonesia
memang sangat kaya akan budaya yang unik, salah satunya budaya Toraja. budaya
Toraja ialah budaya yang sangat unik. Banyak hal-hal dari Budaya Toraja yang
tidak akan didapatkan di kebudayaan lain. Budaya Toraja tidak hanya dikenal di
daerah sekitar, tetapi sudah tidak asing lagi di kancah Internasional. Kuatnya
rasa persaudaraan dan kekeluargaan sehingga budaya ini dapat terlestarikan
sampai sekarang.
B.
Saran
Saran yang dapat kami berikan untuk pemerintah yaitu agar pelestarian
budaya Toraja agar lebih ditingkatkan. Kalau bisa, jangan menghilangkan budaya
dan adat Toraja, karena hal itulah yang menjadi ciri khas daerah Toraja.
Jadikanlah Toraja sebagai pusat daerah pariwisata dan objek penelitian
pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar